Untuk itu semoga bermanfaat, bila penulis tuturkan disini
beberapa kaedah dan disiplin dalam berhias yang dibolehkan, agar dapat menjadi
barometer setiap kali wanita akan berhias, baik dengan menggunakan hiasan
klasik maupun moderen, dimana para ulama belum menyebutkan pendapat tentang
hiasan itu. Penulis tuturkan dengan memohan pertolonggan kepada Allah :
Kaedah pertama: Hendaknya cara berhias itu tidak dilarang dalam agama kita segala bentuk perhiasan yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya, berarti haram, baik Rasulullah telah menjelaskan bahayanya kepada kita maupun tidak.
Kaedah kedua: Tidak mengandung penyerupaan diri dengan orang kafir ini kaedah terpenting yang harus dicermati dalam berhias. Batas peyerupaan diri yang diharamkan adanya kecendrungan hati dalam segala hal yang telah menjadi ciri khas orang kafir, karena kagum dengan mereka sehingga hendak meniru mereka, baik dalam cara berpakaian, penampakan, dan lain-lain. kalaupun pelakunya mengaku tidak bermaksud menirukan orang kafir, namun penyebabnya tetap hanyalah kekerdilan dirinya dan hilangnya jati diri sebagai muslim yang berasal dari kelemahan dari akidahnya. Anehnya, seorang muslim terkadang mengamalkan suatu amalan yang memiliki dasar dalam ajaran syariat kita,tetapi kemudian ia berdosa dalam melakukannya, karena ia berniat menirukan orang kafir.
Kaedah pertama: Hendaknya cara berhias itu tidak dilarang dalam agama kita segala bentuk perhiasan yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya, berarti haram, baik Rasulullah telah menjelaskan bahayanya kepada kita maupun tidak.
Kaedah kedua: Tidak mengandung penyerupaan diri dengan orang kafir ini kaedah terpenting yang harus dicermati dalam berhias. Batas peyerupaan diri yang diharamkan adanya kecendrungan hati dalam segala hal yang telah menjadi ciri khas orang kafir, karena kagum dengan mereka sehingga hendak meniru mereka, baik dalam cara berpakaian, penampakan, dan lain-lain. kalaupun pelakunya mengaku tidak bermaksud menirukan orang kafir, namun penyebabnya tetap hanyalah kekerdilan dirinya dan hilangnya jati diri sebagai muslim yang berasal dari kelemahan dari akidahnya. Anehnya, seorang muslim terkadang mengamalkan suatu amalan yang memiliki dasar dalam ajaran syariat kita,tetapi kemudian ia berdosa dalam melakukannya, karena ia berniat menirukan orang kafir.
Contohnya, seorang laki-laki yang membiarkan panjang jenggotnya. membiarkan jenggot menjadi panjang pada dasarnya adalah salah satu dari syar islam bagi kaum laki-laki. tetapi ada sebagian laki-laki yang membiarkan pannjangkan jenggotnya karena mengikuti mode dan meniru mentah-mentah orang barat. ia berdosa dengan perbuatannya itu karena. Seperti penulis mengenal seorang pemuda yang baru datang dari barat dengan jenggotnya yang panjang, menurut tren/kecenderungan mode orang-orang barat ketika dia tahu bahwa di negrinya jenggot merupakan syiar islam dan juga syiar orang shalih dan mengerti agama, segera ia memotomg jenggot!!
Contohnya dikalanggan wanita, memanjangkan ujung pakaian. Perbuatan itu (yakni memanjangkan ujung satu jengkal atau satu hasta )adalah termasuk sunnah-sunah bagi kaum wanita yang telah ditinggalkan orang pada masa sekarang ini. Tetapi ketika orang-orang kafir juga melakukannya pada beberapa acara resmi mereka sebagaian kaum muslimin yang sudah ternodai pikiran mereka menganggap itu sebagai kebiasaan yang bagus, dan merekapun mengikutinya, untuk meniru orang-orang kafir tersebut. Sebaliknya, diselain acara-acara khusus tersebut mereka kembali kepada kebiasaan orang kafir dengan mengenakan pakaian mini/ketat atau You Can See !!! dalam dua kesempatan itu mereka tetap berdosa.
Kaedah ketiga: Jangan sampai menyerupai kaum lelaki dalam segala sisinya.
Kaedah keempat:Jangan berbentuk permanen sehingga tidak hilang seumur hidup
Kaedah kelima: Jangan mengandung pengubahan ciptaan Allah subhanahu wa ta''ala
Kaedah keenam:Jangan mengandung bahaya terhadap tubuh.
Kaedah ketujuh:Jangan sampai menghalangi masuknya air ke kulit,atau rambut terutama yang sedang tidak berhaid
Kaedah kedelapan: Jangan mengandung pemborosan atau mebuang-membuang uang.
Kaedah kesembilan: Jangan membuang- buang waktu lama dalam arti, berhias itu menjadi perhatian utama seorang wanita
Kaedah kesepuluh: Penggunaannya jangan sampai membuat si wanita takabur, sombong dan membanggakan diri dan tinggi hati dihadapan orang lain
Kaedah kesebelas: Terutama, dilakukan untuk suami. boleh juga ditampakkan dihadapan yang halal melihat perhiasannya sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur''an ayat 31 dari surat An-Nur
Kaedah keduabelas: Jangan bertentangan dengan fitrah
Kaedah ketigabelas: Jangan sampai menampakan aurat ketika dikenakan. Aurat wanita dihadapan sesama wanita adalah dari mulai pusar hingga lutut namun itu bukan berarti seorang wanita bisa dengan wanita menampakan perut punggung atau betisny dihadapan sesama wanita tetapi maksudnya adlah bila diperlukan, seperti ketika hendak menyusukan anak atau mengangkat kain baju unutk satu keperluan sehinggan sebagian betisnya terlihat, dst. Adapu bila ia sengaja melakukannay karena mengikuti mode dan meniru wanita-wanita kafir, tidak dibolehkan.Wallahu''alam. dan terhadap kaum laki-laki adalah seluruh tubuhnya tanpa terkecuali..
Kaedah keempat belas: Meskipun secara emplisit, janggan sampai menampakan postur wanita bagi laki yang bukan mukhrim menampakan diri wanita dan menjadikannya berbeda dari wanita lain, sehingga menjadi pusat perhatian. itulah yang dinamakan : jilbab modis.
Kaedah kelima belas: Jangan sampai meninggalkan kewajibannya, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian wanita pada malam penggantin mereka atau pada berbagai kesempatan lainnya.
Inilah beberapa kaedah penting bagi wanita dalam berhias sebatas yang nampak bagi penulis dari nash-nash syari'at dan pernyataan para ulama hendaknya setiap wanita menghadapkan diri kepada masing-masing kaedah ini ketika berhias. Satu saja yang hilang, maka berati ia dilarang berhias dengan cara itu.
Wallahua 'alam
Diambil dan digubah dari : Muhammad bin Abdul aziz Al-Musnid, 1421 H.Indahnya Berhias, ed.2 Darul Haq, Jakarta hal :128-132
Keringanan Tidak Mengqadha' Shalat
Amr bin Abdul Mun'im
Saudariku, wanita Muslimah, ketahuilah bahwa Allah Azza wa
Jalla telah mengetahui kesulitan yang akan di alami oleh wanita pada saat haid,
apabila Dia memerintahkannya untuk mengqadha' shalat yang ditinggalkan selama
menjalani haid tersebut. Sebagai rahmat-Nya, Dia tidak memerintahkan kaum
wanita untuk mengqadha' shalat sebagai keringanan sekaligus rahmat bagi mereka.
Dari Muadz.
Ada seorang wanita yang bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu 'anha : "Apakah salah seorang diantara kita harus mengqadha' shalat yang ditinggalkan selama mejalani haid ?"
Ada seorang wanita yang bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu 'anha : "Apakah salah seorang diantara kita harus mengqadha' shalat yang ditinggalkan selama mejalani haid ?"
Aisyah menjawab : "Apakah engkau wanita merdeka ? Pada
masa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam ada seorang wanita diantara kami
yang haid tidak diperintahkan untuk mengqada shalat". (Hadits Riwayat
Muttaafaqun 'alaih)
Imam Nawawi rahimahullah pernah mengatakan : "Seluruh
kaum Muslimin sepakat bahwa wanita yang sedang mengalami haid dan nifas tidak
diwajibkan untuk mengerjakan shalat dan puasa. Mereka juga sepakat bahwa
keduanya tidak harus mengqadha' shalat, tetapi hanya wajib mengqadha' puasa
saja. Para ulama mengatakan perbedaan antara kedua ibadah itu, bahwa shalat
sebagai ibadah yang banyak dan sering dilakukan sehingga mengqadha'nya akan
memperberat kaum wanita. Berbeda dengan puasa yang hanya diwajibkan satu tahun
sekali". (Syarhu Shahihi Muslim I/637)
Tetapi yang jadi masalah di sini adalah : "Masuknya
waktu shalat telah ditentukan, ada seorang wanita yang dalam keadaan suci
hendak mengerjakan shalat tetapi pada saat hendak mengerjakan shalat itu dia
haid. Lalu apakah dia harus mengqadha shalat ini, ataukah shalat itu memiliki
kedudukan hukum yang sama dengan shalat-shalat yang ditinggalkan dia menjalani
haid ?"
Yang benar dan kebenaran ini didukung oleh beberapa dalil
adalah dia harus mengqadha'nya, karena waktu shalat telah tiba sedang dia dalam
keadaan suci, sehingga kedudukan hukumnya sama dengan shalat-shalat yang
dikerjakan pada saat dia dalam keadaan suci, atau seperti orang yang lupa
mengerjakannya atau tertidur sehingga tidak mengerjakannya.
Shalat tersebut harus diqadha pada saat wanita itu telah suci
dari haidnya. Wallahu a'lam
Disalin dari buku 30 Keringanan Bagi Wanita, oleh Amr Bin
Abdul Mun'in terbitan Pustaka Azzam - Jakarta.
Melepaskan Ikatan Rambut Untuk
Mandi Haidh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu-Syaikh
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya : Apakah hukumnya melepaskan ikatan rambut ketika mandi setelah habis masa haidh ?
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya : Apakah hukumnya melepaskan ikatan rambut ketika mandi setelah habis masa haidh ?
Jawaban:
Menurut dalil yang lebih kuat adalah tidak ada kewajiban melepaskan ikatan rambut ketika hendak mandi bagi wanita yang telah selesai haidh, sebagaimana tidak adanya kewajiban tersebut untuk mandi junub. Hanya saja, memang terdapat dalil-dalil yang mensyari'atkan untuk melepaskan ikatan rambut ketika mandi haidh, akan tetapi perintah yang terdapat dalam dalil-dalil ini bukan menunjukkan hal yang wajib berdasarkan dari hadits Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha.
Menurut dalil yang lebih kuat adalah tidak ada kewajiban melepaskan ikatan rambut ketika hendak mandi bagi wanita yang telah selesai haidh, sebagaimana tidak adanya kewajiban tersebut untuk mandi junub. Hanya saja, memang terdapat dalil-dalil yang mensyari'atkan untuk melepaskan ikatan rambut ketika mandi haidh, akan tetapi perintah yang terdapat dalam dalil-dalil ini bukan menunjukkan hal yang wajib berdasarkan dari hadits Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha.
"Sesungguhnya aku seorang wanita yang mengikat rambut
kepalaku, apakah saya harus melepaskan ikatan rambut itu untuk mandi
junub?" dan dalam riwayat lain : "dan untuk mandi haid?", maka Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Tidak, akan tetapi cukup bagimu untuk menuangkan air atas
kepalamu sebanyak tiga kali,...." [Hadits Riwayat Muslim]
Ini adalah pendapat yang dipilih oleh pengarang kitab Al-Inshaf
dan Az-Zarkasyi, sedangkan dalam mandi junub maka hukum melepaskan ikatan
rambut bagi wanita tidaklah sunnah (mandub). Abdullah bin Umar meriwayatkan
bahwa 'Aisyah berkata : "Apakah aku harus memerintah mereka untuk memotong
rambut itu ?" Kesimpulannya adalah : melepaskan ikatan rambut tidaklah
disyari'atkan saat mandi junub akan tetapi hal itu ditekankan dan dianjurkan
saat mandi haidh. Penekanan ini pun berbeda-beda, ada yang kuat dan ada pula
yang lemah, berdasarkan keringanan dan kesulitan melepaskan ikatannya. [Fatawa
wa Rasa'il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/61]
Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah,
edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan,
terbitan Darul Haq hal. 21-22 penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin.
Keringanan Mewarnai Kuku Bagi
Wanita Haid
Amr bin Abdul Mun'im
Pacar (mewarnai kuku dengan daun inay) merupakan salah satu
bentuk perhiasan yang dapat menambah kecantikan wanita. Banyak wanita yang
memakai pacar pada kukunya dengan daun inay (pacar), karena hal itu dapat
menarik kecintaan suami.
Wanita yang sedang haid diberikan keringanan untuk memakai pacar,
sebagaimana yang disebutkan dalam hadits berikut ini :
"Dari Mu'adzah : Ada
seorang wanita bertanya kepada Aisyah radhiyallahu 'anha : "Apakah wanita
yang sedang haid boleh memakai pacar?"
Aisyah menjawab : Pada saat sedang di sisi nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kami memakai pacar pada kuku, dan beliau tidak melarang kami melakukan hal itu". (Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah (656) dengan sanad shahih)
Aisyah menjawab : Pada saat sedang di sisi nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kami memakai pacar pada kuku, dan beliau tidak melarang kami melakukan hal itu". (Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah (656) dengan sanad shahih)
Dari Nafi' Maula bin Umar, dia menceritakan :
"Bahwa istri-istri Ibnu Umar semuanya memakai pacar pada
kuku mereka pada saat sedang haid". (Diriwayatkan oleh Imam Al-Darimi (1094) dengan sanad shahih)
Mengenai hal ini penulis katakan, apabila pemakaian pacar itu
terlalu tebal sehingga air wudhu' tidak dapat menyentuh kulit pada saat sedang
dalam keadaan suci, ketika itu seorang wanita harus menghapus dan
menghilangkannya. Demikian itulah keringanan yang diberikan kepada seorang
wanita yang sedang haid karena pada saat itu dia tidak berwudlu'.
Disamping pacar itu dari inay, seorang wanita juga diperbolehkan
mengecat kukunya (kutek) pada saat sedang haid, karena dia tidak harus
berwudlu' dan mengerjakan sholat. Tetapi pada saat dalam keadaan suci, dia
harus menghilangkannya.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, dia menceritakan :
"Istri-istri kami memakai pacar pada malam hari, apabila
pagi tiba mereka melepasnya, kemudian berwudlu dan mengerjakan shalat. Setelah
shalat mereka memakai pacar lagi dan apabila tiba waktu dzuhur mereka
melepasnya, lalu berwudlu' dan mengerjakan shalat . Hal itu dilakukannya dengan
sebaik-baiknya dan tidak menghalangi mereka dari shalat". (Diriwayatkan oleh Imam Al-Darimi (1093) dengan sanad
shahih)
Tetapi ada dua hal yang diperhatikan :
Pertama : Pemakaian pacar -termasuk juga kutek- merupan salah satu perhiasan yang tidak boleh diperlihatkan kepada laki-laki yang bukan muhrim. Oleh karena itu, wanita yang memakainya harus menyembunyikan dari pandangan laki-laki yang bukan muhrim.
Pertama : Pemakaian pacar -termasuk juga kutek- merupan salah satu perhiasan yang tidak boleh diperlihatkan kepada laki-laki yang bukan muhrim. Oleh karena itu, wanita yang memakainya harus menyembunyikan dari pandangan laki-laki yang bukan muhrim.
Kedua : Pengecatan kuku (kutek) adalah salah satu kebiasaan
orang barat yang dilancarkan ke tengah-tengah masyarakat kita. Dan melakukannya
merupakan tindakan menyerupai wanita-wanita kafir tersebut, dan inilah yang
dilarang.
Disalin dari buku 30 Keringanan Bagi Wanita, oleh Amr Bin
Abdul Mun'in terbitan Pustaka Azzam - Jakarta.
Keringanan Berdzikir Kepada Allah
Bagi Wanita Haid
Amr bin Abdul Mun'im
Zikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala merupakan suatu
kewajiban bagi setiap Muslim dan Muslimah.
Sebagaimana yang difirmankan Allah Azza wa Jalla.
Sebagaimana yang difirmankan Allah Azza wa Jalla.
"Artinya : Karena itu, berdzikirlah (ingat) kalian
kepada-Ku niscaya Aku akan ingat kepada kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan
janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku". (Al-Baqarah : 152)
"Artinya : Dan sesungguhnya berdzikir (mengingat) Allah
adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain)". (Al-Ankabut : 45)
Dalam mengisahkan Yunus 'Alaihi al-Salam, Dia berfirman.
"Artinya : Maka kalau sekiranya dia (Yunus) tidak termasuk orang-orang yang banyak berdzikir kepada Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di dalam perut ikan itu sampai hari berbangkit". (Al-Shaffat : 143-144)
"Artinya : Maka kalau sekiranya dia (Yunus) tidak termasuk orang-orang yang banyak berdzikir kepada Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di dalam perut ikan itu sampai hari berbangkit". (Al-Shaffat : 143-144)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda.
"Artinya : Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Rabbnya dengan orang yang tidak berdzikir adalah seperti orang hidup dan orang mati". (Diriwayatkan oleh Muttafaqun 'alaih dari hadits Abu Musa Al-Asy'ari Radhiyallahu 'anhu).
"Artinya : Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Rabbnya dengan orang yang tidak berdzikir adalah seperti orang hidup dan orang mati". (Diriwayatkan oleh Muttafaqun 'alaih dari hadits Abu Musa Al-Asy'ari Radhiyallahu 'anhu).
Diantara bentuk kemurahan Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap
kaum wanita adalah memberikan keringanan kepada kaum wanita untuk berdzikir
kepada-Nya selama menjalani masa haid, meski pada saat itu mereka tidak boleh
mengerjakan shalat dan puasa.
Ummu Athiyah Radhiyallahu 'anha menceritakan.
"Artinya : Kami diperintahkan keluar pada hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, juga wanita pingitan dan gadis".
"Artinya : Kami diperintahkan keluar pada hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, juga wanita pingitan dan gadis".
'Wanita-wanita haid keluar rumah dan menempati posisi di
belakang jama'ah yang mengerjakan shalat, dan bertakbir bersama-sama mereka',
Lanjut Ummu Athiyyah". (Hadits Riwayat
Muttafaqun 'alaih).
Imam Nawawi Rahimahullah juga mengatakan.
"Ucapan Ummu Athiyyah, 'Wanita-wanita haid itu bertakbir bersama jama'ah' menunjukkan dibolehkannya zikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala bagi wanita haid dan wanita sedang junub. Yang diharamkan baginya adalah membaca Al-Qur'an".
"Ucapan Ummu Athiyyah, 'Wanita-wanita haid itu bertakbir bersama jama'ah' menunjukkan dibolehkannya zikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala bagi wanita haid dan wanita sedang junub. Yang diharamkan baginya adalah membaca Al-Qur'an".
Disalin dari buku 30 Keringanan Bagi Wanita, oleh Amr Bin
Abdul Mun'in terbitan Pustaka Azzam - Jakarta.
Larangan Keluar Rumah Dengan
Memakai Wangi-Wangian
Amr bin Abdul Mun'im
Dari Zainab Al-Tsaqafiyyah Radhiyallahu 'anha, dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau pernah bersabda.
"Artinya : Apabila salah seorang di antara kalian menyaksikan waktu
Isya, -dalam suatu riwayat disebutkan : masjid- maka hendaklah dia tidak
memakai wangi-wangian pada malam itu". [Hadits Riwayat Muslim]
Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia
menceritakan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.
"Artinya : Setiap wanita mana saja yang terkena bau wangi maka
hendaklah dia tidak mengerjakan shalat Isya bersama kami". [Hadits Riwayat Muslim]
Dan dari Abu Musa Al-Asy'ari Radhiyallahu 'anhu, dia
menceritakan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.
"Artinya : Setiap wanita mana saja yang memakai wangi-wangian lalu dia
berjalan melewati suatu kaum supaya mereka mencium bau wanginya itu, berarti
dia telah berzina". [Hadits ini Shahih.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (IV/414). Juga diriwayatkan oleh Abu Daud (4173).
Imam Tirmidzi (2786). Imam Nasa'i (VIII/153) melalui Ghanim bin Qais, dari Abu
Musa Al-Asy'ari]
Hadits-hadits tersebut di atas menunjukkan larangan keluarnya
dari rumah wanita dengan memakai wangi-wangian, karena memakai wangi-wangian di
hadapan orang laki-laki dapat membangkitkan nafsu birahi dalam diri mereka.
Dalam menerangkan hadits di atas, Al-Allamah Al-Mubarakfuri Rahimahullahu
mengatakan.
"Yang demikian disebut berzina karena wangi-wangian yang
dikenakan wanita dapat membangkitkan syahwat laki-laki dan menarik perhatian
mereka. Laki-laki yang melihatnya berarti telah berzina dengan mata, dan dengan
demikian wanita itu telah melakukan perbuatan dosa".
Mengenai hal ini penulis katakan, "Selain itu, memandang
wanita merupakan pendahuluan dari perbuatan zina kemaluan. Oleh karena itu
setiap wanita Muslimah wajib tidak keluar dari rumahnya kecuali untuk kebutuhan
yang dibolehkan syari'at. Tetapi apabila dia harus keluar, maka dia harus
mengindahkan adab sopan santun yang ditetapkan syari'at, mengenakan hijab,
memakai pakaian yang tidak menarik perhatian orang lain serta tidak memakai
wangi-wangian. Sedangkan pada saat kembali ke rumah, dia dibolehkan memakai
wangi-wangian yang dikehendakinya dengan syarat tidak tercium oleh laki-laki
yang bukan muhrim".
Disalin dari buku 30 Larangan Bagi Wanita, oleh Amr Bin Abdul
Mun'in, terbitan Pustaka Azzam - Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar